Seperti biasa, hari libur aku ingin bersantai. Setelah memasak dan mandi, aku duduk - duduk menemani anakku nonton televisi. Acaranya film serial Doraemon. Walaupun menurutku tak begitu mendidik, dengan pendampingan yang tepat, Insya Allah serial itu cukuplah hanya sekedar menjadi hiburan keluarga.
Sedang asyik nonton televisi, datanglah adik ipar yang seorang guru sekolah menengah atas. Tanpa babibu dia langsung duduk dan mengeluhkan tentang persiapan Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA yang akan segera dilaksanakan. Dia mengeluhkan tentang tata tertib pengawasan UAN yang menurutnya janggal. Dia yang masih memiliki sedikit idealisme sebagai seorang guru tidak bisa menerima bahwa pengawasan yang ketat saat pelaksanaan UAN justru dipermasalahkan saat rapat persiapan. Para guru yang menjadi pengawas UAN diminta agar tidak terlalu ketat dalam pengawasannya agar bisa "membantu" siswa. Lho??!!!
Aku yang bukan guru hanya bisa mengerenyitkan dahi mendengar berita yang dibawanya. Bukankah itu berarti, secara tidak langsung para pengawas diminta untuk "memberi peluang" bagi para peserta ujian untuk melakukan hal - hal yang "memudahkan" pengerjaan soal? Nyontek misalnya. Dia hanya mengangguk.
Aku hanya bisa mengelus dada sambil bergidik. Mau jadi apa generasi mendatang kalau sejak dini sudah diajarkan cara - cara tidak jujur semacam itu? Para guru diminta memberi "kemudahan" bagi pelaksanaan ujian, bahkan bila perlu mencari bocoran jawaban untuk diberikan pada para siswa peserta ujian. Tujuannya apalagi kalau bukan memaksimalkan angka kelulusan. Bila perlu lulus 100% dengan nilai tinggi dan mendapat ranking peringkat regional bahkan nasional, bagaimanapun caranya.
Dalam UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa : "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara", dan "Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara negara yang demokratis serta bertanggungjawab, serta berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentukwatak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa". Dengan kata lain, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk mindset positif, karakter yang baik, dalam rangka mendukung terbentuknya budaya yang dapat dibanggakan.
Dengan upaya yang dilakukan pihak sekolah seperti itu, apakah tujuan pendidikan akan tercapai? Tidak salah kalau generasi yang terbentuk juga menjadi generasi instant yang santai, serba ingin hasil cepat, kurang menghargai proses dan jauh dari akhlak mulia. Wallahu'alam.
Walaupun tidak seluruhnya, tapi berbagai kejadian yang kita lihat sehari - hari cukup menunjukkan hal tersebut. Perkelahian pelajar, membolos, berbohong, pergaulan bebas (yang ditunjukkan dengan meningkatnya siswi hamil di luar nikah), sikap hedonis dengan jor - joran terhadap sesuatu yang bersifat kebendaan, dan lain -lain masih banyak lagi.
Selain guru, orang tua juga sering ikut memperparah dalam pembentukan karakter ini. Memanjakan anak dengan barang - barang yang sebenarnya kurang dibutuhkan hanya dengan alasan kasihan, nanti anak minder karena tidak memiliki benda - benda terkini seperti yang dimiliki teman - temannya. Mindset semacam itu tentunya karena dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Orang tua yang bermental tangguh tidak akan punya pemikiran semacam itu.
Aku jadi teringat pengalamanku sendiri. Enam tahun menjadi koordinator pembuat soal Lomba Cerdas Cermat Dokter Kecil tingkat Kabupaten, hampir setiap tahun selalu dikejar - kejar oknum guru yang menghendaki bocoran soal. Tentu saja tujuannya kejuaraan. Kejuaraan, angka kelulusan tinggi menjadi tujuan utama dan bukan proses. Murid "dimudahkan" dan berbagai cara dilakukan. Antara murid dan guru juga sering ada kode - kode tertentu saat lomba berlangsung, dengan maksud membantu. Membantu dengan cara yang tidak benar.
Akhirnya, aku dan mungkin banyak orang tua lainnya menjadi was - was bila harus memasukkan anak ke sekolah. Favorit bukan lagi menjadi ukuran, tapi lebih pada pendidikan budi pekerti yang diberikan. Walaupun kecerdasan intelektual tetap diperhatikan, tapi pembentukan karakter dalam rangka mewujudkan attitude yang baik lebih diutamakan. Juara olimpiade mapel, angka kelulusan tinggi, juara kegiatan ekstrakurikuler dan prestasi individual maupun kelompok siswa, akhirnya menjadi bonus dan hadiah yang manis karena murid - murid yang bermental tangguh, berdaya juang tinggi, berperilaku terpuji menjadi hal yang utama di sana. ADAKAH SEKOLAH SEPERTI ITU?
Mari wujudkan tujuan pendidikan dengan mulai mengurangi memberikan "kemudahan" kepada para siswa. Kita do'akan anak - anak kita menjadi anak - anak shalih dan shalihah yang akan menjaga bangsa, negara, keluarga dan agamanya dari kerusakan. Aamiin.....
Ini demi generasi mendatang dan demi kejayaan negara Indonesia. #sigh (ketinggian ya? he he he...)