Seperti biasa habis shalat subuh aku ke dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi. Tapi hari ini hari libur, hari Jum’at tanggal merah. Liburan paskah rupanya. Ah, aku tak harus buru-buru menyiapkan sarapan karena tidak ada yang harus berangkat ke sekolah atau ke kantor. Karena aku tak merayakan paskah, sampai pukul lima seperempat aku masih bermalas-malasan duduk di dapur sambil menikmati segelas machiatto dan sepotong roti isi daging.
Jam setengah enam aku keluar ke teras belakang. Bau harum tanah basah karena semalam hujan terasa sangat sejuk. Kulayangkan pandanganku menyapu kebun di belakang rumah yang tak seberapa luas. Bersih dan rapi karena tukang kebun yang rutin membersihkannya. Tapi, kemana tanaman-tanamanku? Beberapa minggu tak menengok kebun membuat tanamanku banyak yang merana dan mati. Pot-pot banyak yang kosong dan ditumpuk di tepi teras. Juga pohon gardenia kesayangankupun sepertinya sudah menjerit minta dipindahkan ke pot yang lebih besar. Anthurium yang berbunga merah dan putih juga sudah minta di potong untuk diperbanyak dan diperbaharui medianya. Sekelompok tanaman kuping gajah berdaun kecil yang kutanam berderet memanjang di pinggir teras sekitar tiga bulan yang lalu mulai merimbun. Warna hijau loreknya sangat menyejukkan. Agloenema yang aku “deder’ beberapa bulan lalu juga mulai rimbun. Pohon ganola yang rajin dipangkas oleh tukang kebun membentuk kanopi hijau dengan bunganya yang besar merah keunguan, tampak indah di pagi yang mulai disinari matahari.
Kutengok di tengah kebun, beberapa pot lada perdu yang mulai berbuah, harus mulai dipupuk lagi agar tumbuh cabang tunas baru. Di cabang baru itulah nantinya akan keluar bunga dan buah. Pohon markisa di pojok kebun terlihat merana. Tidak tumbuh sulur untuk merambat, tapi malah merimbun. “Kuntet”. Sepertinya tanah perlu digemburkan dan ditambahkan humus di situ. Hmmmmm... Di hari libur ini tampaknya ada banyak yang harus kukerjakan. Sejenak aku menghela nafas panjang. Mengumpulkan semangat dan di pagi yang sejuk itu aku mulai benah-benah kebun.
Satu-satu aku mulai mengerjakan pemindahan tanaman. Aku mengerjakannya dengan senang karena aku memang hobi berkebun. Hanya kadang waktu yang membuatku harus menahan keinginan berlama-lama di kebun. Kuisi pot-pot kosong dengan tanah humus dan aku mulai memindahi tanaman aloe vera dan anggrek tanah berbunga kuning yang mulai beranak pinak. Akupun mulai asyik tenggelam dalam kegiatanku pagi itu. Kegiatan yang aku senangi dan bisa melepaskan aku dari segala kepenatanku menghadapi berbagai persoalan pekerjaan. Anak-anak “membantuku”. Ha ha ha...maksudku, mereka lebih banyak mengganggu daripada membantu. Tapi aku senang melihat mereka antusias dengan tanaman.
Setengah jam kemudian, aloe vera selesai dipindahkan. Berikutnya adalah gardenia, bunga kesayanganku. Pohon berbunga putih harum ini memang favoritku. Kusipkan pot besar. Kuisi dengan media yang sudah kusiapkan. Dengan hati-hati kubongkar tanaman gardenia dari potnya. Harus hati-hati karena akarnya sangat halus dan mudah rusak. Bila akarnya rusak, kemungkinan besar mati. Walaupun gardenia bisa diperbanyak dengan setek batang, tapi tak selalu berhasil. Aku sudah berkali-kali gagal.
Setelah tanah di pinggir pot kusisir dengan pisau, batang pohon kupegang dengan tangan kanan sambil menahan tanahnya supaya tidak rontok. Tangan kiri pelan-pelan melepaskan pot. Saat itu ada beberapa tanah rontok dan....seekor cacing! Binatang itu terlempar ke tangan kananku dan menggeliat-geliat di antara ibu jari dan telunjuk! Aku geli dan ngeri! Aku sangat takut cacing. Aku bisa gemetar bahkan pingsan bila bertemu kedua hewan tersebut. Aneh memang, hobiku berkebun tapi aku sangat takut cacing dan ulat. Dua makhluk yang ditakuti oleh kebanyakan kaum perempuan. Sementara dua hewan itu tak bisa dipisahkan dari tanaman. Apalagi aku paling anti menggunakan pestisida atau obat-obat kimia buatan pabrik untuk tanamanku. Biasanya bila sedang beraktivitas dan bertemu kedua hewan itu, berkebun langsung aku tinggalkan. Dan saat ini, salah satu hewan itu berada di tangaku. Yang sudah-sudah aku akan langsung reflek melempar pot dan segala yang aku pegang untuk menyingkirkan hewan itu. Akupun sudah bersiap melempar tanaman yang kupegang. Tapi.... Bila aku melemparnya, akar tanaman itu akan hancur dan mungkin aku harus menunggu berbulan-bulan untuk melihat gardeniaku merimbun dan berbunga lagi. Bahkan yang aku takutkan, gardenia kesayangku itu akan mati.
Akhirnya sambil menahan nafas, sampai dadaku sesak. Aku melanjutkan melepas pot. Aku berusaha “denial” terhadap keberadaan cacing di tanganku, walaupun geliatannya tak bisa membohongiku. Tak seperti biasanya, pagi itu aku tidak mengenakan sarung tangan kerja. Jadi, keberadaannya sangat terasa. Jantungku berdebar keras dan keringat dingin mulai menetes di keningku. Hal itu malah membuat tanganku kaku dan sulit digerakkan. Rasanya aku mau pingsan.
Setelah berjuang keras, akhirnya aku mampu menguasai perasaanku dan tanaman gardenia itupun berpindah ke pot yang lebih besar dengan sukses. Cacing kulempar jauh dan kulihat dipatuk ayam kampung yang berkeliaran di kebun.
Peristiwa itu tak membuatku kapok berkebun. Justru kini sedikit demi sedikit aku mulai “bersahabat” dengan kedua hewan tersebut. Aku mulai bisa “melihatnya” bila kedua hewan itu berada di antara tanamanku. Walaupun untuk memegangnya aku tidak akan berpikir sekalipun, langsung menolak. Biasanya aku minta bantuan orang lain untuk menyingkirkan mereka dari tanamanku. Aku mulai berpikir bahwa ketakutanku terhadap kedua hewan itu adalah ketakutan yang berlebihan. Mosok manusia kalah sama cacing dan ulat? Sepertinya ketakutan itu harus segera dikoreksi.
Oh, cacing dan ulat.....
No comments:
Post a Comment